Yogyakarta menjadi tuan rumah Simposium Nasional Penegakan Kedaulatan Negara pada 19-21 Februari 2025, sebuah forum akademik yang membahas strategi menjaga kedaulatan di berbagai aspek kehidupan berbangsa. Salah satu partisipasi penting dalam acara ini datang dari dosen STAB Kertarajasa, Latifah, yang memaparkan kajian berjudul "Narasi Kuliner dan Kedaulatan Budaya: Analisis Esai Komunitas Lakoat Kujawas di Mollo, Nusa Tenggara Timur". Kajian ini dilakukan berkolaborasi dengan akademisi dari Antropologi, Universitas Brawijaya.
Narasi Kuliner sebagai Alat Diplomasi Budaya
Kajian yang dipresentasikan oleh dosen STAB Kertarajasa ini menyoroti bagaimana narasi kuliner dapat berfungsi sebagai medium strategis yang menghubungkan diplomasi budaya dengan advokasi kedaulatan pangan. Studi ini mengangkat karya komunitas Lakoat Kujawas yang menggunakan kuliner sebagai ekspresi budaya sekaligus alat untuk memperkuat identitas lokal dalam percaturan global.
Ekspresi kreatif komunitas ini juga memberikan wawasan penting mengenai keberlanjutan lingkungan dan pentingnya menjaga biodiversitas dalam sistem pangan lokal. Dengan memahami narasi kuliner sebagai bagian dari kebijakan kedaulatan, kajian ini merekomendasikan penguatan literasi kuliner dalam pendidikan dan diplomasi budaya agar dapat semakin menegaskan identitas nasional di era globalisasi.
Simposium dan Relevansi Sejarah
Selain membahas isu kedaulatan budaya, simposium ini juga menyoroti pentingnya sejarah dalam memahami dinamika kedaulatan negara. Pidato pembukaan oleh Mahfud MD menekankan bahwa Indonesia memperoleh kedaulatannya melalui perjuangan panjang, berbeda dengan banyak negara lain yang merdeka melalui perjanjian atau pemberian. Ia juga menyoroti tantangan kedaulatan di era modern yang tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam negeri, seperti praktik korupsi dan regulasi yang merugikan kepentingan nasional.
Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 menjadi contoh bagaimana perjuangan dalam memperkuat legitimasi kedaulatan Indonesia. Ketika Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada 19 Desember 1948, dunia sempat meragukan eksistensi Republik Indonesia. Namun, serangan yang berhasil merebut Yogyakarta selama enam jam ini mengubah persepsi dunia dan mendorong Belanda untuk kembali ke meja perundingan hingga akhirnya pengakuan kedaulatan Indonesia tercapai dalam Konferensi Meja Bundar.
Langkah Konkret ke Depan
Simposium ini diharapkan dapat menghasilkan solusi konkret dalam menjaga kedaulatan di berbagai bidang, baik politik, hukum, ekonomi, maupun budaya. Para anggota Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) merasa mendapat perspektif baru tentang bagaimana sejarah dan kebijakan dapat saling berkontribusi dalam pembangunan bangsa. Hal ini disampaikan Agus Toni Widodo, guru Sejarah di SMA 1 Bantul.
Dian Lakshmi Pratiwi, Kepala Dinas Kebudayaan DIY, menegaskan bahwa tantangan globalisasi membuat diskusi tentang kedaulatan semakin relevan. "Di tengah arus perubahan global, kita harus memiliki strategi yang tepat untuk menjaga kemandirian bangsa, baik dalam aspek ekonomi, budaya, maupun politik," ujarnya.
Partisipasi dosen STAB Kertarajasa dalam simposium ini memperlihatkan bahwa narasi kuliner bukan sekadar refleksi budaya, tetapi juga jalan dalam membangun kesadaran publik mengenai kedaulatan pangan dan keberlanjutan lingkungan. Simposium ini menjadi langkah nyata dalam menjaga dan memperkuat kedaulatan Indonesia di berbagai bidang.